Senin, 19 Desember 2016

dalil dalil doa qunut





DO’A QUNUT

1. Pengertian Qunut

Secara bahasa Qunut artinya Do’a. Secara istilah Qunut dibagi dua,

yaitu :

1. Qunut Nazilah yaitu : Qunut yang dibaca dalam shalat fardu ketika umat islam menghadapi bahaya, wabah penyakit, bencana atau tantangan dari orang kafir.

2. Qunut subuh atau Qunut witir yaitu : qunut yang dikerjakan pada saat i’tidal rakaat ke-2 dalam shalat subuh atau witir


2. Dalil-dalil Qunut


Hukum Qunut adalah sunat, diantara sahabat yang mensunahkan diantanya Abu Bakar As-Sidik, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas dan Barra Bin Aziz. Dalil yang dijadikan pedoman untuk mensunahkan qunut adalah hadist Nabi Muhammad SAW :


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد)



Diriwayatkan dari Anas bin Malik R.A “Beliau berkata, “Rasululloh senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat.” (HR. Ahmad).



Pakar hadis Muhammad bin Alan as-Sidiqi dalam kitabnya Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah mengatakan bahwa hadis ini yang benar dan diriwayatkan serta disahihkan oleh golongan pakar yang banyak yang banyak hadist.

Sedangkan do`a qunut yang diajarkan langsung oleh Nabi SAW adalah sebagai berikut :



اَلَّلهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ,وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنّا فِيْمَنْ تَوَلَّيَتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لَايَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَايَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ اْلحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ. (رواه النسائ ١٧٢٥،وأبو داود ١٢١٤،والترميذى ٤٢٦،وأحمد ١٦٢٥،والدارمي ١٥٤٥بسند الصحيح)



“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang telah Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu dan atas segala yang Engkau pastikan. Kami memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. An-Nasa’I :1725, Abu Dawud :1214, Al-Tirmidzi :426, Ahamad :1625 dan Al-Darimi :1545 dengan Sanad yang Shahih)

Dalil kedua disebutkan dalam kitab fiqh as-Sunah Juz II halaman 38-39 :



وَمَذْهَبُنَا الشَّافِعِيُّ: اِنَّ الْقُنُوْتَ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ الثَّانِيَّةِ سُنَّةٌ لِمَا رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ الِاَّ التِّرْمِيْذِى عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ اَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكِ سُئِلَ هَلْ قَنَتَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِفى صَلَاةِ الصُّبْحِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ اَوْ بَعْدَهُ؟ قَالَ: بَعْدَ الرُّكُوْعِ.



Ulama As-Syafi’iyah mengatakan: Kedudukan qunut pada shalat subuh persisnya ketika bangkit dari rakaat kedua, hukumnya sunah karena ada hadis yang diriwayatkan ahli hadis kecuali at-Tirmidzi. Hadis itu diriwayatkan dari ibnu Sirin, Anas bin Malik pernah ditanya: Apakah Nabi menjalankan qunut pada shalat subuh? Jawab anas: Ya! Kemudian ditanya lagi: letaknya dimana sebelum atau sesudah ruku’? Jawabnya: Sesudah ruku’ (fiqh As-Sunah,Juz 11,hlm.38-39)



Dalil ketiga sebagaimana disebutkan dalam kitab Hamizsy Qalyubi Mahalli Juz I halaman 57



وَيُسَنُّ الْقُنُوْتُ فِي اعْتِدَالٍ ثَانِيَةِ الصُّبْحِ- اِلَى اَنْ قَالَ- لِلاتِّبَاعِ رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِى اْلمُسْتَدْرَكِ عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَيَدْعُ بِهَذَا الدُّعَاءِ “اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ …. اِلَى اَخِرِ مَا تَقَدَّمَ- لَكِنْ لَمْ يَذْكُرْ رَبَّنَا. وقال صحيح.

Qunut itu disunahkan letaknya ketika I’tidal, reka’at kedua shalat subuh, Keterangan tersebut sampai: …….. karena mengikuti Nabi. Hadis diriwayatkan Hakim dalam kitab Mustadrak dari Abu Hurairah: Rosululloh mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh pada reka’at kedua, dia mengangkat tangannya kemudian berdo’a: Allohumma ihdini fi-man hadait ……… Rosululloh tidak memakai kata-kata robbana …. Hadis ini shahih.



Ketiga, dalam Nail al-Authar, Juz II hlm:387:



فَاِنَّهُ اِنَّمَا سَأَلَ اَنَسًا عَنْ قُنُوْتِ اْلفَجْرِ فَأَجَابَهُ عَمَّا سَأَلَهُ عَنْهُ وَبِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَلِهِ وَسَلِّمْ كَانَ يُطِيْلُ صَلَاةِ اْلفَجْرِ دُوْنَ السَّائِرِ الصَّلَوَاتِ. قَالَ وَمَعْلُوْمٌ اِنَّهُ كَانَ يَدْعُوْ رَبَّهُ وَيُثَنَّى عَلَيْهِ وَيُمَجِّدُهُ فِى هَذَا اْلاِعْتِدَالِ. وَهَذَا قُنُوْتٌ مِنْهُ بِلَارَيْبٍ فَنَحْنُ لَانَشُكُّ وَلَا نَرْتَابُ اِنَّهُ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.



Ketika ditanya sahabat tentang qunut fajar, Anas menjawab: Rasululoh (ketika qunut), ia memanjangkan shalat fajar (Subuh) tidak seperti shalat lainnya. Panjang, karena ia membaca do’a, memuji Alloh, mengagungkan-Nya dalam I’tidal ini. Inilah yang dikatakan qunut, tidak diragukan lagi. Kita tidak perlu syak (bimbang) dan ragu lagi bahwa Nabi membaca qunut dalam shalat subuh sampai meninggal!.



Doa qunut ada tiga macam. Pertama, doa Qunut Nazilah, yaitu doa yang dibacakan setelah ruku’ (i’tidal) pada rakaat terakhir shalat. Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Qunut Nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa (mushibah) yang menimpa, seperti bencana alam, flu burung dan lainnya.

Qunut Nazilah ini mencontoh Rasulullah SAW Yang memanjatkan doa Qunut Nazilah selama satu bulan atas mushibah terbunuhnya qurra’ (para sahabat Nabi SAW yang hafal al Qur’an) di sumur Ma’unah. Juga diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. bahwa “Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku’ (HR. Bukhori dan Ahmad).<>

Kedua, qunut shalat witir. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan dirakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah. Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’. Menurut Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.

Ketiga, doa qunut pada raka’at kedua shalat Shubuh. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad doa qunut shalat Shubuh hukumnya tidak disunnahkan karena hadits Nabi SAW bahwa ia pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaiman diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:
رَوَى ابنُ مَسْعُوْدٍ: أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَنَتَ فِيْ صَلاَةِ الفَجْرِ شَهْراً ثُمَّ تَرَكَهُ

Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi SAW meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Menurut pengikut Imam Malik (Malikiyyah) doa qunut shalat Shubuh hukumnya sunnah tetapi disyaratkan pelan saja (sirr). Begitu juga menurut Syafi’iyyah hukumnya sunnah ab’adl (kalau lupa tertinggal disunatkan sujud sahwi) dilakukan pada raka’at yang kedua shalat Shubuh. Sebab Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal) pada rakaat kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian itu “Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat)”. (HR. Ahmad dan Abd Raziq) Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu’nya:
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ القَُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ أَمْ لَمْ تَنْزِلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ

Dalam Madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulma’ salaf”. (al-Majmu’, juz 1 : 504)

Penulis berpendapat tentang bagaimana dua hadits tentang doa qunut pada shalat Shubuh yang tampa’ tidak sejalan. Cara kompromi untuk mendapat kesimpulan hukum (thariqatu al-jam’i wa al-taufiiq) dapat diuraikan, bahwa hadits Abu Mas’ud (dalil pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat Shubuh setelah itu. Hanya menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa qunut shalat Shubut dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyyah dan Syafi’iyyah) menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat Shubuh dan terus melakukannya sampai beliau wafat.

Kesimpulannya, ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum doa qunut pada shalat Shubuh adalah sunnah ab’adl, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam. Wallahu a’lam bi -shawab.

Saya mau tanya terkait permasalahan qunut subuh. Saya Amrulloh tinggal di Yogyakarta yang mayoritas masjid tidak membaca qunut subuh. Setiap shalat jamaah subuh di masjid dekat saya tinggal, imam berhenti agak lama ketika bangun dari ruku' pada rakaat kedua. Tujuannya memberi kesempatan kepada orang yang mau membaca qunut.

Pertanyaannya (1), apakah yang dilakukan imam itu benar dan ada dasarnya? (2), Jika saya baca qunut sedang imam tidak membaca qunut, apakah shalat saya sah? (3), ketika  suatu saat saya menjadi imam, apa yang harus saya lakukan, qunut atau tidak? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb
(Abdul Kafi Amrullah/Yogyakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada tiga pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait soal do’a qunut. Sebagaimana yang kita pahami bersama dalam madzhab Syafi’i membaca do’a qunut ketika shalat subuh hukumnya adalah sunah. Sunah dalam konteks ini adalah sunnah ab‘adl sehingga jika terlewatkan disunahkan untuk melakukan sujud sahwi.

Lantas bagaimana jika imam tidak mengakui legalitas syar’i (masyru’) membaca do`a qunut dalam shalat subuh, sedangkan makmum mengakuinya. Tetapi pihak imam memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca do`a qunut karena menghormatinya?

Dalam konteks ini apa yang dilakukan imam patut kita apresiasi. Misalnya seandainya penganut madzhab Syafi’i yang mengakui kesunahan membaca doa qunut dalam shalat subuh bermakmum kepada orang yang menganut madzhab Hanafi yang notebene tidak menganggap kesunahannya, kemudian ia sebagai imam berhenti sejenak setelah ruku‘ untuk memberikan kesempatan kepada makmumnya membaca do’a qunut, maka makmum sebaiknya membaca qunut.

Namun jika tidak memberikan kesempatan maka ikutilah imam. Inilah yang kami pahami dari pernyataan Abul Qasim Ar-Rafi‘i dalam kitab Al-‘Aziz yang merupakan anotasi (syarah) atas kitab Al-Wajiz karya Imam Al-Ghazali.
وَإِذَا جَوَّزْنَا اقْتِدَاءَ اَحَدِهِمَا بِالْآخَرِفَلَوْ صَلَّي الشَّافِعِيُّ الصُّبْحَ خَلْفَ حَنَفِيٍّ وَمَكَثَ الْحَنَفِيُّ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَلِيلًا وَاَمْكَنَهُ اَنْ يَقْنُتَ فِيهِ فَعَلَ وَاِلَّا تَابَعَهُ

Artinya, “Ketika kita membolehkan mengikuti salah satu dari keduanya, maka seadainya penganut madzhab Syafi’i bermakmum di belakang penganut madzhab Hanafi dan ia (penganut madzhab Hanafi) setelah ruku‘ berdiam sejenak dan memungkinkan si makmum untuk membaca doa qunut, maka bacalah. Jika tidak (berhenti sejenak), maka ikutilah imam,” (Lihat Abul Qasim Ar-Rafi‘i, Al-‘Aziz Syarhul Wajiz, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1997 M, juz II, halaman 156).

Penjelasan ini juga sebenarnya menjawab pertanyaan yang kedua, yaitu bahwa shalat makmum yang membaca do`a qunut itu sah meskipun imam tidak membacanya, tetapi diam sejenak untuk memberikan kesempatan kepada makmum untuk membacanya.

Selanjutnya menginjak pertanyaan yang ketiga, bagaimana jika yang jadi imam adalah orang yang menyakini legalitas syar’i membaca do’a qunut dalam shalat subuh, sedangkan makmumnya tidak? Ini agak dilematis. Di satu sisi membaca do’a qunut dalam keyakinan imam adalah termasuk sunnah ab‘adl, tetapi di sisi lain makmum tidak meyakini qunut sebagai sebuah sunah.

Di sinilah diperlukan kearifan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pilihan untuk tetap membaca qunut bisa saja diambil. Toh jika Anda sebagai imam membaca do’a qunut, sedang makmumnya tidak, shalatnya tetap sah. Tetapi apakah ini pilihan yang tepat dalam sebuah komunitas masyarakat yang mayoritas tidak mengamalkan qunut?

Karena keterbatasan ruang dan waktu maka kami akan menjawab pertanyaan yang ketiga pada lain kesempatan. Demikian jawaban dapat kami berikan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca


PEROBLEM
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya mau tanya terkait permasalahan qunut subuh. Saya Amrulloh tinggal di Yogyakarta yang mayoritas masjid tidak membaca qunut subuh. Setiap shalat jamaah subuh di masjid dekat saya tinggal, imam berhenti agak lama ketika bangun dari ruku' pada rakaat kedua. Tujuannya memberi kesempatan kepada orang yang mau membaca qunut.

Pertanyaannya (1), apakah yang dilakukan imam itu benar dan ada dasarnya? (2), Jika saya baca qunut sedang imam tidak membaca qunut, apakah shalat saya sah? (3), ketika  suatu saat saya menjadi imam, apa yang harus saya lakukan, qunut atau tidak? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb
(Abdul Kafi Amrullah/Yogyakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada tiga pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait soal do’a qunut. Sebagaimana yang kita pahami bersama dalam madzhab Syafi’i membaca do’a qunut ketika shalat subuh hukumnya adalah sunah. Sunah dalam konteks ini adalah sunnah ab‘adl sehingga jika terlewatkan disunahkan untuk melakukan sujud sahwi.

Lantas bagaimana jika imam tidak mengakui legalitas syar’i (masyru’) membaca do`a qunut dalam shalat subuh, sedangkan makmum mengakuinya. Tetapi pihak imam memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca do`a qunut karena menghormatinya?

Dalam konteks ini apa yang dilakukan imam patut kita apresiasi. Misalnya seandainya penganut madzhab Syafi’i yang mengakui kesunahan membaca doa qunut dalam shalat subuh bermakmum kepada orang yang menganut madzhab Hanafi yang notebene tidak menganggap kesunahannya, kemudian ia sebagai imam berhenti sejenak setelah ruku‘ untuk memberikan kesempatan kepada makmumnya membaca do’a qunut, maka makmum sebaiknya membaca qunut.

Namun jika tidak memberikan kesempatan maka ikutilah imam. Inilah yang kami pahami dari pernyataan Abul Qasim Ar-Rafi‘i dalam kitab Al-‘Aziz yang merupakan anotasi (syarah) atas kitab Al-Wajiz karya Imam Al-Ghazali.
وَإِذَا جَوَّزْنَا اقْتِدَاءَ اَحَدِهِمَا بِالْآخَرِفَلَوْ صَلَّي الشَّافِعِيُّ الصُّبْحَ خَلْفَ حَنَفِيٍّ وَمَكَثَ الْحَنَفِيُّ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَلِيلًا وَاَمْكَنَهُ اَنْ يَقْنُتَ فِيهِ فَعَلَ وَاِلَّا تَابَعَهُ

Artinya, “Ketika kita membolehkan mengikuti salah satu dari keduanya, maka seadainya penganut madzhab Syafi’i bermakmum di belakang penganut madzhab Hanafi dan ia (penganut madzhab Hanafi) setelah ruku‘ berdiam sejenak dan memungkinkan si makmum untuk membaca doa qunut, maka bacalah. Jika tidak (berhenti sejenak), maka ikutilah imam,” (Lihat Abul Qasim Ar-Rafi‘i, Al-‘Aziz Syarhul Wajiz, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1997 M, juz II, halaman 156).

Penjelasan ini juga sebenarnya menjawab pertanyaan yang kedua, yaitu bahwa shalat makmum yang membaca do`a qunut itu sah meskipun imam tidak membacanya, tetapi diam sejenak untuk memberikan kesempatan kepada makmum untuk membacanya.

Selanjutnya menginjak pertanyaan yang ketiga, bagaimana jika yang jadi imam adalah orang yang menyakini legalitas syar’i membaca do’a qunut dalam shalat subuh, sedangkan makmumnya tidak? Ini agak dilematis. Di satu sisi membaca do’a qunut dalam keyakinan imam adalah termasuk sunnah ab‘adl, tetapi di sisi lain makmum tidak meyakini qunut sebagai sebuah sunah.

Di sinilah diperlukan kearifan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pilihan untuk tetap membaca qunut bisa saja diambil. Toh jika Anda sebagai imam membaca do’a qunut, sedang makmumnya tidak, shalatnya tetap sah. Tetapi apakah ini pilihan yang tepat dalam sebuah komunitas masyarakat yang mayoritas tidak mengamalkan qunut?

KAMI SELALU TERBUKA UNTUK MENERIMA SARAN DAN KRITIK DARI PARA PEMBACA.

REFERENSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar